Saturday, October 20, 2007

Catatan Sebuah Perjalanan...

Di masa pembangunan ini,” kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api.


Perjalanan liburan kampus yang menyenangkan…
Sumatera Barat… mendengar daerah itu disebut, dalam pikiran saya langsung tergambar sebuah pemandangan indah dengan hamparan sawah hijau yang begitu menyejukkan mata siapapun yang memandang. Kehidupan masyarakat yang identik dengan Islam dimana surau atau masaji’ (Masjid) dijadikan benar-benar sebagai pusat peradaban (bukan hanya pusat peribadatan). Anak-anak dengan kupiyah dan kerudung bersicepat untuk sampai ke surau belajar mengaji di petang hari. Anak-anak remaja perempuan yang tak pernah sudi meninggalkan pakaian taqwanya walau di seberang sana orang-orang sedang terlena dan dinina-bobokan oleh proyek ghozwul fikrinya musuh-musuh Allah.
Pantas saja kemudian dari tempat ini lahir nama-nama besar yang kemudian menjadi tokoh yang amat disegani dan dihormati. Sebut saja Hatta, syahrir, Hamka, Natsir, bahkan Tan Malaka dan masih banyak lagi yang lain yang dicatat oleh sejarah negeri ini. Mereka berangkat dari berbagai sudut pandang ide dan gagasan yang berbeda, tak jadi soal. Begitulah tatanan kehidupan urang minang berkontribusi bagi bangsa ini. Bahkan ibu kota negarapun pernah dipindahkan ke daerah ini (baca: Bukit Tinggi).
Tapi… Sebuah pertanyaan selalu begitu mengganggu saya ketika kembali melihat kondisi kekinian saat ini. Dimana ibu-ibu urang awak sekarang seolah merajuk tidak mau melahirkan kembali para pahlawan bagi negeri ini. Apakah ini ‘masa kevakuman’ tokoh bagi orang minang?
Sayang sekali ‘masa kevakuman’ ini datang tepat ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri. Masa ketika kata Anis Matta “kita justru mengalami kelangkaan pahlawan”. Inikah yang diprediksikan oleh Anis sebagai “ isyarat kematian sebuah bangsa”?.” Jangan… janganlah kiranya malapetaka sakratulmaut itu terjadi,” ujar Taufiq Ismail.
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan berkunjung ke tanah kelahiran orang tua di suatu daerah kecil di Sumatera Barat: Payakumbuh… Koto Baru-Sarik Laweh tepatnya. Tempat yang sangat menyenangkan… menikmati keindahan ciptaan Maha Pencipta. Dari atas bukit menyaksikan hamparan sawah hijau seolah permadani indah terbentang begitu luasnya ditemani udara sejuk menyegarkan. Subhanallah…
Tapi…
Satu hal yang tak saya temui tentang kehidupan orang Sumbar seperti yang tergambar dalam pikiran saya. Surau yang menjadi pusat peradaban kini seolah tak berfungsi, tidak ada lagi anak-anak dengan pakaian muslim belajar mengaji di sana. Anak-anak mudo juga tak menampakkan dirinya di sana. Apakah perubahan ini yang menyebabkan tidak lahirnya lagi tokoh-tokoh anutan dari negeri minang?

Wallahualam, Tapi yang jelas kita masih berharap dan merindukan kehadiran “pahlawan-pahlawan” yang membawa kita menuju perbaikan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan Pahlawan itu. Membawa kita dari hantaman krisis demi krisis yang telah meluluhlantakkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri yang hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.

Sebagai orang Indonesia, walau tidak lahir di negeri Minang Kabau, saya bangga dengan daerah ini dan masih berharap serta merindukan kelahiran Hamka, Natsir, Syharir, dan Hatta baru dari asuhan seorang bundo urang minang yang akan memecahkan negeri dari kebuntuan. Mudah-mudahan…

2 comments:

Mesa Lindari said...

Asw. Maaf, cuman meralat. Ibu kota indonesia tepatnya di KOTO TINGGI, bukan bukittinggi. Karena kepentingan rezim, informasi tersebut diplesetkan dalam buku2 sejarah sekolah. Koto tinggi sebuah daerah kecil di nagari payakumbuh. tepatnya kabupaten lima puluh kota.
(*TIM KIR PDRI). trm kash^_^

Fajri said...

terima kasih juga infonya