Sunday, October 28, 2007

Sedikit saja...

Sedikit saja, di Hari peringatan Sumpah Pemuda yang diikrarkan 79 tahun silam, 28 Oktober 1928, kuperdengarkan pesan Chairil Anwar dan tulang-tulang berserakan lainnya untuk kalian wahai para pemuda…

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Dan, bertanyalah kita, Apakah makna yang kita berikan kepada mereka, tulang-tulang berserakan itu? Apakah memang tak ada lagi wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pemuda sejati? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan pemuda seperti Khalid bin Walid?

Ataukah, tak ada lagi ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “merelakan kalian pergi berdemonstrasi… karena kalian pergi menyempurnakan… kemerdekaan ini.”

Relakan kami ibu… relakan kami… Allahuakbar…

Thursday, October 25, 2007

Puisi Sang Pejuang

Wahai Jiwa,
Kau harus turun berlaga, atau
Kupaksa kau turun
Mengapa kau tampak enggan
Menggapai surga


Saya terhenyak...

Benar, saya terhenyak ketika membaca bait puisi ini. Ada sesuatu di dalamnya. Ada sebentuk kekuatan yang begitu menghentakkan dan mengguggah. Entah apa yang ada di balik puisi ini yang begitu memiliki kekuatan yang teramat dahsyat. Mungkin ini berlebihan, mungkin pula saya hanya terbawa suasana hening dan tenang. Tapi bagaimanapun bait puisi ini begitu mengguggah.

Saya lanjutkan membaca agar mengetahui bagaimana puisi ini tercipta...

... Ketika itu, pasukan Muslim sedang mengalami sebuah situasi sulit dalam perang Mu'tah. Abdullah bin Rawahah sekejap merasa keraguan di dalam hatinya dalam menghadapi maut. Dengan mengumpulkan segenap keberanian atas rasa cinta dan rindu kepada Tuhannya beliau mengusir keraguan itu dengan puisi. Dan terciptalah bait puisi seperti yang saya tuliskan di atas. Setelah itu keberaniannya kembali terkumpul. Ia pun maju, bertempur dan menggapai cita-citanya: SYAHID di jalan Allah.

Subhanallah, pantas saja...

Ada fenomena unik yang masih belum saya temukan jawabannya secara memuaskan. yaitu hubungan yang saya anggap misterius antara para pejuang sejati dengan puisi dan sastra. Bahkan sosok yang terkenal berkarakter keras dan tegas seperti Umar bin Khattab pun menganjurkan sastra untuk anak-anak. Karena sastra, kata Umar, dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.

Rasulullan saw sendiri menyukai puisi dan menghapal beberapa bait puisi Arab kuno serta mengenal para penyair. Para sahabat di zaman Rasul saw dan sesudahnya juga menggunakan puisi sebagai cara untuk membangkitkan semangat.

Di kalangan para ulama dan aktivis dakwah zaman ini juga kita juga temukan hal yang sama. Buka dan bacalah karya-karya Dr. Yusuf Qardhawi, Ghazali dan... bukankah salah satu kekuatan tafsir Fi Dzilalil Qur'an, karya Sayyid Quthb, adalah kekuatan sastranya? bahkan Imam Syafi'i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mewariskan kumpulan puisinya untuk kita.

Fenomena ini, kata Anis Matta dalam karyanya mencari pahlawan Indonesia, menjelaskan bahwa para pahlawan sejati selalu menyimpan kelembutan hati yang membuat nuraninya senantiasa bergetar setiap kali menyaksikan berbagai peristiwa yang mengharu biru; yang membuat semangatnya menggelora setiap kali ia menghadapi tantangan dan panggilan kepahlawanan; yang membuat kesedihannya menyawat jiwa setiap kali ia menyaksikan kezaliman, kepapaan dan kenestapaan; yang membuat kerinduannya mendayu-dayu setiap kali ia diingatkan pada cita-citanya. Intinya, kelembutan jiwa memberikan mereka kemampuan mengapresiasikan kehidupan secara baik dan intens.

MAKA...

Pantas saja saya terhenyak membaca bait puisi di atas karena ia tercipta memang untuk mereka yang begitu rindu meneruskan jejak langkah para PAHLAWAN.

(Tulisan di blog ini terinspirasi ketika tenggelam dalam karya indah dan bermakna Anis Matta, ‘Mencari Pahlawan Indonesia’)

Tuesday, October 23, 2007

Dinasti Ming, Membangun Khilafah Islam di Cina

Kagum dengan Christopher Colombus yang berhasil menemukan benua Amerika pada tahun 1492? Atau Vasco da Gama yang berlhasil melakukan pelayaran dari Portugis ke India pada tahun 1497? Saya juga kagum dengan mereka, tapi lebih kagum lagi dengan tokoh yang satu ini: Laksamana Cheng Ho (Zheng He).

Selama hidupnya, Cheng Ho melakukan petualangan antar benua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Wah... hebat sekali. Pelayarannya bahkan lebih awal 87 tahun dibandingkan Columbus.

Laksamana Cheng Ho hidup pada masa Dinasti Ming di China. Dinasti Ming adalah masa kekuasaan Islam di China. Ternyata Islam pernah berkuasa di China ya? Makanya pada postingan kali ini saya tertarik untuk menulis tentang Dinasti Ming di Cina, lain kali kita cerita tentang laksamana Cheng Ho ya...



Gbr. Masjid yang pernah dibangun di masa kekuasaan Dinasti Ming. Berlokasi di kota Yin Chuan


Dinasti Ming muncul setelah masa kekuasaan Dinasti Yuan (Mongol), dimana pada akhir kekuasaannya Dinasti Yuan sedang digegoroti oleh krisis moneter berkepanjangan. Pengelolaan uang kertas yang sembarangan membuat nilai mata uang itu turun. Kepercayaan mata uang kertas yang diberi nama yuan (sesuai dengan nama dinasti yang berkuasa) pun hilang. Selain itu Kaisar Mongol juga harus membiayai pembangunan kanal dari utara ke selatan, menghubungkan Sungai Huang Ho dan Yang Tse Kiang. Keadaan ekonomipun dengan cepat berubah menjadi kacau. Kesejahteraan rakyat terpuruk sehingga pemberontakan rakyatpun tidak bisa dibendung. Kekuatan pemberontak terhimpun dari kalangan pekerja yang membangun kanal. Mereka dipimpin oleh seorang pemuda Muslim bernama Chu Yuan Chang.

Chu adalah menantu dari seorang jenderal muslim bernama Kok Tze Hin. Panglima Kok Tze Hin menyerahkan pasukan yang berada di bawah perintahnya kepada Chu Yuan Chang. Pasukan ini berasal dari wilayah sekitar Yang Tse Kiang. Kemudian para pemuda Han pun ikut bergabung.

Dengan strategi yang disusun oleh Panglima Chu Yuan Chang dan bantuan yang diberikan oleh isterinya, Putri Peony yang muslimah, akhirnya mereka berhasil merebut kota Nanking yang berada di daerah selatan sungai Yang Tze Kiang. Pasukan rakyat saat itu juga berhasil menyerbu ke utara dan berhasil merebut kota Peking, ibukota Khanbalik.

Chu Yuan Chang akhirnya mengumumkan pembentukan pemerintahan Dinasti Ming. Chu mengambil nama Ming dengan pertimbagan dia ingin nama dinastinya bermakna sama dengan gelar Madinah. Ming berarti Al Munawarah yang berarti gilang gemilang. Panglima Chu Yuan Chang muncul sebagai kaisar pertama dari Dinasti Ming (1368-1644 M). Dia dipanggil dengan Kaisar Hung Wu, tetapi sejarah lebih mengenalnya sebagai Kaisar Chu Yuan Chang dan isterinya dipanggil Ratu Ma (Ratu Muhammad). (dari berbagai sumber)

Saturday, October 20, 2007

Catatan Sebuah Perjalanan...

Di masa pembangunan ini,” kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api.


Perjalanan liburan kampus yang menyenangkan…
Sumatera Barat… mendengar daerah itu disebut, dalam pikiran saya langsung tergambar sebuah pemandangan indah dengan hamparan sawah hijau yang begitu menyejukkan mata siapapun yang memandang. Kehidupan masyarakat yang identik dengan Islam dimana surau atau masaji’ (Masjid) dijadikan benar-benar sebagai pusat peradaban (bukan hanya pusat peribadatan). Anak-anak dengan kupiyah dan kerudung bersicepat untuk sampai ke surau belajar mengaji di petang hari. Anak-anak remaja perempuan yang tak pernah sudi meninggalkan pakaian taqwanya walau di seberang sana orang-orang sedang terlena dan dinina-bobokan oleh proyek ghozwul fikrinya musuh-musuh Allah.
Pantas saja kemudian dari tempat ini lahir nama-nama besar yang kemudian menjadi tokoh yang amat disegani dan dihormati. Sebut saja Hatta, syahrir, Hamka, Natsir, bahkan Tan Malaka dan masih banyak lagi yang lain yang dicatat oleh sejarah negeri ini. Mereka berangkat dari berbagai sudut pandang ide dan gagasan yang berbeda, tak jadi soal. Begitulah tatanan kehidupan urang minang berkontribusi bagi bangsa ini. Bahkan ibu kota negarapun pernah dipindahkan ke daerah ini (baca: Bukit Tinggi).
Tapi… Sebuah pertanyaan selalu begitu mengganggu saya ketika kembali melihat kondisi kekinian saat ini. Dimana ibu-ibu urang awak sekarang seolah merajuk tidak mau melahirkan kembali para pahlawan bagi negeri ini. Apakah ini ‘masa kevakuman’ tokoh bagi orang minang?
Sayang sekali ‘masa kevakuman’ ini datang tepat ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri. Masa ketika kata Anis Matta “kita justru mengalami kelangkaan pahlawan”. Inikah yang diprediksikan oleh Anis sebagai “ isyarat kematian sebuah bangsa”?.” Jangan… janganlah kiranya malapetaka sakratulmaut itu terjadi,” ujar Taufiq Ismail.
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan berkunjung ke tanah kelahiran orang tua di suatu daerah kecil di Sumatera Barat: Payakumbuh… Koto Baru-Sarik Laweh tepatnya. Tempat yang sangat menyenangkan… menikmati keindahan ciptaan Maha Pencipta. Dari atas bukit menyaksikan hamparan sawah hijau seolah permadani indah terbentang begitu luasnya ditemani udara sejuk menyegarkan. Subhanallah…
Tapi…
Satu hal yang tak saya temui tentang kehidupan orang Sumbar seperti yang tergambar dalam pikiran saya. Surau yang menjadi pusat peradaban kini seolah tak berfungsi, tidak ada lagi anak-anak dengan pakaian muslim belajar mengaji di sana. Anak-anak mudo juga tak menampakkan dirinya di sana. Apakah perubahan ini yang menyebabkan tidak lahirnya lagi tokoh-tokoh anutan dari negeri minang?

Wallahualam, Tapi yang jelas kita masih berharap dan merindukan kehadiran “pahlawan-pahlawan” yang membawa kita menuju perbaikan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan Pahlawan itu. Membawa kita dari hantaman krisis demi krisis yang telah meluluhlantakkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri yang hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.

Sebagai orang Indonesia, walau tidak lahir di negeri Minang Kabau, saya bangga dengan daerah ini dan masih berharap serta merindukan kelahiran Hamka, Natsir, Syharir, dan Hatta baru dari asuhan seorang bundo urang minang yang akan memecahkan negeri dari kebuntuan. Mudah-mudahan…

Friday, October 19, 2007

Toilet Berbentuk Perempuan Berjilbab di Israel

Israel kembali melakukan penghinaan terhadap simbol-simbol Islam. Media massa Israel baru-baru ini melansir foto sarana buang air kecil yang dikeluarkan sebuah perusahaan di Israel, berbentuk perempuan berjilbab.

Jenis tempat buang air kecil ini, menurut media massa Israel sangat laris di p asaran Israel.

Sejumlah sumber seperti dikutip Albawaba menyebutkan bahwa bentuk toilet itu memang diarahkan untuk menghina simbol Islam dan kaum Muslimin. Produk pertamanya berasal dari AS dan diimpor ke Israel. Kini, bentuk toilet seperti ini sangat banyak didapati di Israel. (eramuslim.com)

Wednesday, October 3, 2007


"Taqobbalallahu Minna Waminkum, Shiyamana wa shiyamukum, Kullu 'Aamin wa Antum Bikhoir"

Kami mengucapkan selamat hari raya 'Idul Fitri 1427 H, semoga amal ibadah kita selama Ramadhan diterima oleh Allah SWT.

Teriring pula ucapan mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan dan kekhilafan kami, baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allah memberikan berkah bagi kita semua dengan saling memaafkan.

Semoga Allah mempertemukan kita kembali di Ramadhan tahun yang akan datang, amin.